Urbanisasi yang Efisien
Urbanisasi mungkin sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia, terutama
di kota kota besar. Setiap tahun penduduk yang tinggal di desa pasti datang ke
kota kota besar untuk mencari mata pencaharian. Urbanisasi memang hal yang
wajar, tapi jika melonjaknya arus Urbanisasi juga akan membawa dampak buruk dan
masalah yang diterima. Salah satu contoh adalah padatnya penduduk, kemacetan,
kesenjangan sosial, dan masalah masalah sosial lainnya.
Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai cara untuk mengatasi
lonjakan Urbanisasi, salah satunya adalah pemerataan pembangunan di sejumlah
wilayah Indonesia. Pemerintahan dan kota kota besar di Indonesia saling bekerja
sama untuk mengatasi masalah Urbanisasi ini. Kota kota besar seperti Jakarta,
Surabaya, Medan memiliki cara untuk mengatasi laju Urbanisasi yang begitu
cepat. Salah satu contoh adalah Jakarta, Jakarta telah menerapkan kebijakan
ketat bagi pendatang baru yang datang ke Jakarta. Salah satu kebijakan tersebut
adalah dengan Oprasi Yuridis. Pendatang baru yang tidak memiliki tempat
tinggal, tidak memilki tujuan yang jelas, tidak memilki keterampilan, dan tidak
memiliki identitas yang jelas akan di pulangkan kemabali ke daerah asalnya.
Kebijakan tersebut pun menuai hasil positive, karena laju Urbanisasi di Jakarta
bisa berkurang. Data mencatat penduduk Jakarta menurun yakni 51875 menjadi
47832 jiwa.
Tapi di balik kesuksesan Jakarta menurunkan laju Urbanisasi. Sebaliknya
kota kota sekitar Jakarta seperti BODETABEK (Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi)
tidak melakukan peraturan yang ketat terhadap penduduk baru yang datang. Hal
hasil penduduk yang tidak bisa tinggal di Jakarta akan tinggal di kota kota
sekitar Jakarta (BODETABEK). Meraka memang tinggal di kota sekitar Jakarta,
tapi untuk hal mengais rezeki atau bekerja, meraka lakukan di Jakarta. Ini sama
saja kebijakan ketat yang dilakukan Jakarta untuk menekan laju Urbanisasi sama
saja kurang efektive. Pasalnya, dari 24 Jam waktu yang di miliki Jakarta,
sekita 12 jam waktu sisanya di huni oleh pedatang baru yang tinggal di sekitar
kota Jakarta. Mereka memang tidak tinggal di Jakarta, tapi mereka bekerja dan
beraktivitas di Jakarta sampai seaharian. Dan ini menjadi masalah baru untuk
Jakarta, terutama kemacetan di jam jam sibuk.
Urbanisasi memang hal yang wajar di negara negara dunia. Negara negara
maju seperti Amerika, Jepang, China juga melakukan Urbanisasi. Tapi Urbanisasi
yang di lakuakan mengandung makna positive, seperti menambah pegawai di tempat
kerja dan menurunkan tingkat pengangguran. Tapi sebaliknya di Indonesia tidak
bisa memanfaatkan Urbanisasi menjadi hal yang positive. Urbanisasi di Amerika,
Jepang, China mencapai 80% sedangkan Indonesia hanya 12%. Timbullah pertanyaan,
mengapa negara negara tersebut lebih maju dari Indonesia padahal tingkat Urbanisasinya
lebih tinggi dan mengapa Indonesia masih menjadi negara yang padat penduduk,
dan penduduknya tidak mendapat kesejahteraan. Memang berbanding terbalik dengan
apa yang terjadi di negara negara maju tersebut yang memilki urabanisasi
mencapai 80 % bisa membangun daerahnya dan menyejahterakan penduduknya. Tapi
Indonesia tidak bisa melakukan semua itu, padalah Urbanisasinya lebih kecil
yaitu 12%.
Guru Besar ITB (Institut Teknologi Bandung) Tom Firman mengatakan “sepanjang kebijakan masih urban bias, maka
selama itu pula urbanisasi menumpuk di Jawa”. Pulau terpadat di Indonesia
sekarang adalah Jawa dan Sumatra. Itu semua di dukung dengan pembangunan di
daerah tersebut, tapi mengapa pembangunan hanya di pusatkan di kedua pulau
tersebut. Apakah pemerintahan tdak percaya membangun pembangunan di pulau pulau
lain. Jika kita lihat pulau pulau selain Jawa dan Sumatra seperti Kalimantan,
Sulawesi, dan Papua memiliki kesempatan yang besar juga untuk di lakukan
pembangunan oleh pemerintah. Pejabat pemda kalimantan mengatakan Kalimantan
masih banyak lahan kosong, dan mereka mengundang tenaga ahli untuk datang dan tinggal
di Kalimantan. Tapi kembali ke duduk perkara, karena pemerintah tidak melakukan
pemerataan pembangunan di Kalimantan, akhirnya penduduk dari daerah lain lebih
memilih Jawa dan Sumatra untuk mengais rezeki.
Pada tahun 2011 kawasan Barat Indonesia menguasai 82% PDB Nasional,
sedangkan Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta menghasilkan 46% PDB
Nasional. Jika kita lihat fakta tersebut, berarti daerah di luar Jawa dan
Sumatra hanya menguasai 28% PDB Nasional, dan ini pun sangat terlihat jelas
bahwa tidak adanya pemerataan pembangunan dan ekonomi. Dan selain itu kawasan
timur Indonesia pun semakin tertinggal akan pembangunan.
Indonesia sendiri Urbanisasi tidak di dukung dengan pemerantaan
pembangunan secara cepat. Pembangunan di fokuskan pada kota kota besar,
sedangkan daerah daerah tertinggal masih belum merasakan pembangunan yang
sebenarnya. Selain itu timbul masalah baru yang muncul, yaitu banyak pemilik
modal Industri di kota kota besar menarik tenaga tenaga ahli di daerah dan desa
untuk di pekerjakan di kota. Hal ini menjadi dampak buruk untuk daerah dan desa
yang memilki tenaga ahli tersebut. Pasalnya jika tenaga tenaga ahli tersebut di
pekerjakan di kota, lalu siapa yang akan membangun desa. Daerah dan desa
semakin tertinggal dan tidak memilki tenaga ahli untuk membangun daerah dan
desanya. Kemiskinan di desa mencapai 643,4% (18,48 juta). Pembangunan ekonomi
justru meminggirkan warga desa dengan menarik tenaga kerja ahli untuk bekerja
di kota kota besar. Satu satunya cara menanggulangi masalah ini adalah
membangun industri di daerah dan desa untuk memanjukan otonomi desa dan membuat
warga betah tinggal. Ini artinya tidak sebatas menyediakan lapangan usaha,
industri, tapi harus mempercepat pemerataan pembangunan.
PANDU WIBOWO
JURUSAN ILMU
POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UIN SYARIF HIDAYAHTULLAH JAKARTA.
KETUA
HIMPUNAN DISKUSI MAHASISWA
bagus kak, bermanfaat. makasih :)
BalasHapus