Rabu, 02 Januari 2013

Urbanisasi yang Efisien


Urbanisasi yang Efisien


Urbanisasi mungkin sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia, terutama di kota kota besar. Setiap tahun penduduk yang tinggal di desa pasti datang ke kota kota besar untuk mencari mata pencaharian. Urbanisasi memang hal yang wajar, tapi jika melonjaknya arus Urbanisasi juga akan membawa dampak buruk dan masalah yang diterima. Salah satu contoh adalah padatnya penduduk, kemacetan, kesenjangan sosial, dan masalah masalah sosial lainnya.
Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai cara untuk mengatasi lonjakan Urbanisasi, salah satunya adalah pemerataan pembangunan di sejumlah wilayah Indonesia. Pemerintahan dan kota kota besar di Indonesia saling bekerja sama untuk mengatasi masalah Urbanisasi ini. Kota kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan memiliki cara untuk mengatasi laju Urbanisasi yang begitu cepat. Salah satu contoh adalah Jakarta, Jakarta telah menerapkan kebijakan ketat bagi pendatang baru yang datang ke Jakarta. Salah satu kebijakan tersebut adalah dengan Oprasi Yuridis. Pendatang baru yang tidak memiliki tempat tinggal, tidak memilki tujuan yang jelas, tidak memilki keterampilan, dan tidak memiliki identitas yang jelas akan di pulangkan kemabali ke daerah asalnya. Kebijakan tersebut pun menuai hasil positive, karena laju Urbanisasi di Jakarta bisa berkurang. Data mencatat penduduk Jakarta menurun yakni 51875 menjadi 47832 jiwa.
Tapi di balik kesuksesan Jakarta menurunkan laju Urbanisasi. Sebaliknya kota kota sekitar Jakarta seperti BODETABEK (Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) tidak melakukan peraturan yang ketat terhadap penduduk baru yang datang. Hal hasil penduduk yang tidak bisa tinggal di Jakarta akan tinggal di kota kota sekitar Jakarta (BODETABEK). Meraka memang tinggal di kota sekitar Jakarta, tapi untuk hal mengais rezeki atau bekerja, meraka lakukan di Jakarta. Ini sama saja kebijakan ketat yang dilakukan Jakarta untuk menekan laju Urbanisasi sama saja kurang efektive. Pasalnya, dari 24 Jam waktu yang di miliki Jakarta, sekita 12 jam waktu sisanya di huni oleh pedatang baru yang tinggal di sekitar kota Jakarta. Mereka memang tidak tinggal di Jakarta, tapi mereka bekerja dan beraktivitas di Jakarta sampai seaharian. Dan ini menjadi masalah baru untuk Jakarta, terutama kemacetan di jam jam sibuk.
Urbanisasi memang hal yang wajar di negara negara dunia. Negara negara maju seperti Amerika, Jepang, China juga melakukan Urbanisasi. Tapi Urbanisasi yang di lakuakan mengandung makna positive, seperti menambah pegawai di tempat kerja dan menurunkan tingkat pengangguran. Tapi sebaliknya di Indonesia tidak bisa memanfaatkan Urbanisasi menjadi hal yang positive. Urbanisasi di Amerika, Jepang, China mencapai 80% sedangkan Indonesia hanya 12%. Timbullah pertanyaan, mengapa negara negara tersebut lebih maju dari Indonesia padahal tingkat Urbanisasinya lebih tinggi dan mengapa Indonesia masih menjadi negara yang padat penduduk, dan penduduknya tidak mendapat kesejahteraan. Memang berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di negara negara maju tersebut yang memilki urabanisasi mencapai 80 % bisa membangun daerahnya dan menyejahterakan penduduknya. Tapi Indonesia tidak bisa melakukan semua itu, padalah Urbanisasinya lebih kecil yaitu 12%.
Guru Besar ITB (Institut Teknologi Bandung) Tom Firman mengatakan “sepanjang kebijakan masih urban bias, maka selama itu pula urbanisasi menumpuk di Jawa”. Pulau terpadat di Indonesia sekarang adalah Jawa dan Sumatra. Itu semua di dukung dengan pembangunan di daerah tersebut, tapi mengapa pembangunan hanya di pusatkan di kedua pulau tersebut. Apakah pemerintahan tdak percaya membangun pembangunan di pulau pulau lain. Jika kita lihat pulau pulau selain Jawa dan Sumatra seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua memiliki kesempatan yang besar juga untuk di lakukan pembangunan oleh pemerintah. Pejabat pemda kalimantan mengatakan Kalimantan masih banyak lahan kosong, dan mereka mengundang tenaga ahli untuk datang dan tinggal di Kalimantan. Tapi kembali ke duduk perkara, karena pemerintah tidak melakukan pemerataan pembangunan di Kalimantan, akhirnya penduduk dari daerah lain lebih memilih Jawa dan Sumatra untuk mengais rezeki.
Pada tahun 2011 kawasan Barat Indonesia menguasai 82% PDB Nasional, sedangkan Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta menghasilkan 46% PDB Nasional. Jika kita lihat fakta tersebut, berarti daerah di luar Jawa dan Sumatra hanya menguasai 28% PDB Nasional, dan ini pun sangat terlihat jelas bahwa tidak adanya pemerataan pembangunan dan ekonomi. Dan selain itu kawasan timur Indonesia pun semakin tertinggal akan pembangunan.
Indonesia sendiri Urbanisasi tidak di dukung dengan pemerantaan pembangunan secara cepat. Pembangunan di fokuskan pada kota kota besar, sedangkan daerah daerah tertinggal masih belum merasakan pembangunan yang sebenarnya. Selain itu timbul masalah baru yang muncul, yaitu banyak pemilik modal Industri di kota kota besar menarik tenaga tenaga ahli di daerah dan desa untuk di pekerjakan di kota. Hal ini menjadi dampak buruk untuk daerah dan desa yang memilki tenaga ahli tersebut. Pasalnya jika tenaga tenaga ahli tersebut di pekerjakan di kota, lalu siapa yang akan membangun desa. Daerah dan desa semakin tertinggal dan tidak memilki tenaga ahli untuk membangun daerah dan desanya. Kemiskinan di desa mencapai 643,4% (18,48 juta). Pembangunan ekonomi justru meminggirkan warga desa dengan menarik tenaga kerja ahli untuk bekerja di kota kota besar. Satu satunya cara menanggulangi masalah ini adalah membangun industri di daerah dan desa untuk memanjukan otonomi desa dan membuat warga betah tinggal. Ini artinya tidak sebatas menyediakan lapangan usaha, industri, tapi harus mempercepat pemerataan pembangunan.
PANDU WIBOWO
JURUSAN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UIN SYARIF HIDAYAHTULLAH  JAKARTA.
KETUA HIMPUNAN DISKUSI MAHASISWA

1 komentar: