Sabtu, 12 Januari 2013


Resolusi 2013 Untuk  Persatuan Sepak Bola Indonesia

     Tahun yang baru merupakan harapan baru, khususnya harapan untuk persatuan sepak bola Indonesia. Carut marut persepakbolaan tanah air dalam kurun waktu satu tahun terakhir seakan membuat nama sepak bola Indonesia semakin buruk dimata Asia dan dunia. Selain itu prestasi Timnas sepak bola Indonesia pun bisa dikatakan buruk sepanjang masa. Masih ingatkah kita beberapa bulan yang lalu, ketika Timnas kita dibantai oleh Bahrain 10-0 hanya karena Timnas tidak diisi pemain terbaik. Selain itu Timnas pun harus menelan pil pahit ketika dikalahkan oleh Malaysia 2-0 dipiala AFF, sehingga membuat Timnas gagal melaju ke fase berikutnya.
Dualisme Kepengurusan mengawali masalah internal sepak Bola Indonesia yang diikuti dualisme kompetisi, dan dualisme Timnas. Keluarnya 4 exco PSSI dan mendirikan PSSI tandingan yaitu KPSI seakan memecah belah sepak bola tanah air. Masalah dualisme seakan tidak ingin diselesaikan sampai salah satu dari kubuh tersebut memenagkan persaingan. Johar Arifin dari kubuh PSSI mencoba keras mempertahankan rezim kekuasaannya, sementara kubuh Na Layla dari KPSI berusaha merebut tahta kekuasaan PSSI dari kubuh Johar.
      Berbagai penengah konflik antara PSSI dan KPSI seperti AFC dan FIFA sudah melakukan yang terbaik agar sepak bola Indonesia bisa bersatu lagi. AFC membentuk Join Committe untuk menyelesaikan konflik tersebut, tapi akhirnya anggota Join Committe pun malah selalu berbeda pendapat dalam menyelesaikan konflik, sehingga konflik tersebut tak kunjung terselesaikan. FIFA pun sudah memperingati sepak bola Indonesia agar menyelesaikan konflik pada tanggal 10 Desember 2012 yang lalu. Jika Indonesia gagal menyelesaikan konflik, sepak bola Indonesia akan dikenakan sanksi oleh FIFA. Tapi nyatanya, kedua kubuh baik itu PSSI dan KPSI gagal meredam ego untuk menyatukan kembali sepak bola Indonesia. Sampai tenggang waktu yang ditentukan, lagi lagi pengerus sepak bola Indonesia gagal menyelesaikan masalah. Tapi sepak bola Indonesia patut bersyukur bahwa FIFA telah memberikan waktu tambahan sampai Februari 2013 agar konflik bisa diselesaikan.

Harapan Seluruh Masyarakat Pecinta sepak Bola Indonesia Tahun 2013

     Tahun 2013 harus dijadikan tahun untuk perdamaian dan persatuan sepak bola Indonesia. Pengurus yang berkonflik harus sadar bahwa pembangunan sepak bola dan prestasi lebih penting ketibang berkonflik demi mendapat kekuasaan. Masyarakat pecinta sepak bola Indonesia berharap pada tahun 2013 ini, PSSI dan KPSI mampu duduk bersama dan mencari jalan keluar masalah serta menyatukan pemikiran demi masa depan sepak bola Indonesia. FIFA telah memberikan waktu tambahan agar masing masing pengurus sepak bola Indonesia mampu menyelesaikan konflik. 2013 harus dijadikan kesempatan oleh petinggi petinggi sepak bola agar Indonesia tidak dikenakan sanksi oleh FIFA.
PSSI dan KPSI harus lihat semangat dan keikhlasan dukungan dari pecinta sepak bola tanah air. Indonesia memang bukan Spanyol dan Brazil yang prestasi sepak bolanya terbaik didunia. Walaupun Sepak bola dan Timnas kita kurang prestasi tapi pecinta sepak bola Indonesia tetap setia dan semangat untuk mendukung Timnasnya diberbagai pertandingan. Tidak ada ego, tidak ada haus kekuasaan, dan tidak ada kecurangan, demi prestasi dan masa depan sepak bola Indonesia.

Sabtu, 05 Januari 2013

Unjuk Karya Lebih Baik Ketibang Unjuk Rasa


Unjuk Karya Lebih Baik Ketibang Unjuk Rasa

Dosen saya pernah mengatakan unjuk karya itu lebih baik dari unjuk rasa. Karena sebuah karya bisa menghasilkan sebuah prestasi dan tentunya bisa mengeritik dengan cara yang bukan anarkis.
Demonstrasi yang benar adalah demonstrasi yang dilakukan bukan hanya dengan tenaga atau otot tapi dengan pemikiran dan intelektual. Demonstarsi dengan otot atau tenaga yang dibuang percuma untuk melakukakan demostrasi yang anarkis bisa berdampak negative bagi si demonstran, negara, dan masyarakat. Karena banyak kerugian yang didapat ketibang keuntungan yang diraih.
Jika kita lihat sejarah pemuda bangsa, mereka melakukan demonstrasi benar benar dengan tenaga yang didukung dengan pemikiran dan intelektual yang mereka punya. Mereka melampiaskan ketidaksukaan dengan kolonialisme dengan otak bukan dengan otot. Tapi jika kita lihat pemuda sekarang, mereka sangat merasa bangga ketika berdemonstrasi dengan anarkis. Padahal demonstrasi yang anarkis hanya membawa dampak negative, contoh seperti rusaknya fasilitas umum, jatuhnya korban, dan hanya membuat citra mahasiswa buruk dikalangan masyarakat.
Sebenarnya kita tidak bisa menyalahkan demonstran saja yang melakukan demonstrasi secara anarkis. Mereka anarkis bukan tanpa sebab, karena aspirasi mereka yang seharusnya pemerintah dengar, tapi seolah pemerintah tidak mendengarnya. Pemerintah harus berkaca diri, kenapa mereka bisa bersikap anarkis. Ketika aspirasi mereka tidak didengar, otomatis mereka akan berperilaku anarkis. Karena dalam Teori frustasi agresi dikatakan bahwa “jika aspirasi dan tujuan seseorang atau kelompok tidak tercapai, mereka akan terus mencoba mencapainya walau dengan anarkis sekalipun”.
Tapi menurut saya, domontrasi dengan intelektual dan karya lebih baik ketibang domonstrasi secara anarkis. Banyaknya fasilitas yang rusak karena domontrasi yang anarkis merupakan salah satu dampak yang diterima masyarakat akibat perilaku demo yang tidak tahu etika. Seharusnya kita harus membuka mata pemerintah dan masyarakat, kita lakukan demo secara tentram dan damai tapi bisa menyadarkan hati nurani pemerintah dan rakyat Indonesia.
menurut saya cara demo yang tidak anarkis dan yang paling relevan adalah demo dengan karya. Karena sebuah karya selain bisa mengeritik tentu bisa menghasilkan sebuah prestasi. Kita bisa berdemo dengan mengirimkan keritik kita ke media masa, seperti koran, majalah, dan surat kabar lainnya. Dan saya himbau mari kita buka hati nurani pemerintah kita dengan dengan intelektual kita dengan cara berdemonstrasi dengan damai dan penuh dengan karya. Salam Mahasiswa Indonesia !!
Pandu Wibowo
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Rabu, 02 Januari 2013

Urbanisasi yang Efisien


Urbanisasi yang Efisien


Urbanisasi mungkin sudah menjadi hal yang lumrah di Indonesia, terutama di kota kota besar. Setiap tahun penduduk yang tinggal di desa pasti datang ke kota kota besar untuk mencari mata pencaharian. Urbanisasi memang hal yang wajar, tapi jika melonjaknya arus Urbanisasi juga akan membawa dampak buruk dan masalah yang diterima. Salah satu contoh adalah padatnya penduduk, kemacetan, kesenjangan sosial, dan masalah masalah sosial lainnya.
Sebenarnya pemerintah Indonesia sudah melakukan berbagai cara untuk mengatasi lonjakan Urbanisasi, salah satunya adalah pemerataan pembangunan di sejumlah wilayah Indonesia. Pemerintahan dan kota kota besar di Indonesia saling bekerja sama untuk mengatasi masalah Urbanisasi ini. Kota kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan memiliki cara untuk mengatasi laju Urbanisasi yang begitu cepat. Salah satu contoh adalah Jakarta, Jakarta telah menerapkan kebijakan ketat bagi pendatang baru yang datang ke Jakarta. Salah satu kebijakan tersebut adalah dengan Oprasi Yuridis. Pendatang baru yang tidak memiliki tempat tinggal, tidak memilki tujuan yang jelas, tidak memilki keterampilan, dan tidak memiliki identitas yang jelas akan di pulangkan kemabali ke daerah asalnya. Kebijakan tersebut pun menuai hasil positive, karena laju Urbanisasi di Jakarta bisa berkurang. Data mencatat penduduk Jakarta menurun yakni 51875 menjadi 47832 jiwa.
Tapi di balik kesuksesan Jakarta menurunkan laju Urbanisasi. Sebaliknya kota kota sekitar Jakarta seperti BODETABEK (Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi) tidak melakukan peraturan yang ketat terhadap penduduk baru yang datang. Hal hasil penduduk yang tidak bisa tinggal di Jakarta akan tinggal di kota kota sekitar Jakarta (BODETABEK). Meraka memang tinggal di kota sekitar Jakarta, tapi untuk hal mengais rezeki atau bekerja, meraka lakukan di Jakarta. Ini sama saja kebijakan ketat yang dilakukan Jakarta untuk menekan laju Urbanisasi sama saja kurang efektive. Pasalnya, dari 24 Jam waktu yang di miliki Jakarta, sekita 12 jam waktu sisanya di huni oleh pedatang baru yang tinggal di sekitar kota Jakarta. Mereka memang tidak tinggal di Jakarta, tapi mereka bekerja dan beraktivitas di Jakarta sampai seaharian. Dan ini menjadi masalah baru untuk Jakarta, terutama kemacetan di jam jam sibuk.
Urbanisasi memang hal yang wajar di negara negara dunia. Negara negara maju seperti Amerika, Jepang, China juga melakukan Urbanisasi. Tapi Urbanisasi yang di lakuakan mengandung makna positive, seperti menambah pegawai di tempat kerja dan menurunkan tingkat pengangguran. Tapi sebaliknya di Indonesia tidak bisa memanfaatkan Urbanisasi menjadi hal yang positive. Urbanisasi di Amerika, Jepang, China mencapai 80% sedangkan Indonesia hanya 12%. Timbullah pertanyaan, mengapa negara negara tersebut lebih maju dari Indonesia padahal tingkat Urbanisasinya lebih tinggi dan mengapa Indonesia masih menjadi negara yang padat penduduk, dan penduduknya tidak mendapat kesejahteraan. Memang berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di negara negara maju tersebut yang memilki urabanisasi mencapai 80 % bisa membangun daerahnya dan menyejahterakan penduduknya. Tapi Indonesia tidak bisa melakukan semua itu, padalah Urbanisasinya lebih kecil yaitu 12%.
Guru Besar ITB (Institut Teknologi Bandung) Tom Firman mengatakan “sepanjang kebijakan masih urban bias, maka selama itu pula urbanisasi menumpuk di Jawa”. Pulau terpadat di Indonesia sekarang adalah Jawa dan Sumatra. Itu semua di dukung dengan pembangunan di daerah tersebut, tapi mengapa pembangunan hanya di pusatkan di kedua pulau tersebut. Apakah pemerintahan tdak percaya membangun pembangunan di pulau pulau lain. Jika kita lihat pulau pulau selain Jawa dan Sumatra seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua memiliki kesempatan yang besar juga untuk di lakukan pembangunan oleh pemerintah. Pejabat pemda kalimantan mengatakan Kalimantan masih banyak lahan kosong, dan mereka mengundang tenaga ahli untuk datang dan tinggal di Kalimantan. Tapi kembali ke duduk perkara, karena pemerintah tidak melakukan pemerataan pembangunan di Kalimantan, akhirnya penduduk dari daerah lain lebih memilih Jawa dan Sumatra untuk mengais rezeki.
Pada tahun 2011 kawasan Barat Indonesia menguasai 82% PDB Nasional, sedangkan Jawa Barat, Jawa Timur, dan DKI Jakarta menghasilkan 46% PDB Nasional. Jika kita lihat fakta tersebut, berarti daerah di luar Jawa dan Sumatra hanya menguasai 28% PDB Nasional, dan ini pun sangat terlihat jelas bahwa tidak adanya pemerataan pembangunan dan ekonomi. Dan selain itu kawasan timur Indonesia pun semakin tertinggal akan pembangunan.
Indonesia sendiri Urbanisasi tidak di dukung dengan pemerantaan pembangunan secara cepat. Pembangunan di fokuskan pada kota kota besar, sedangkan daerah daerah tertinggal masih belum merasakan pembangunan yang sebenarnya. Selain itu timbul masalah baru yang muncul, yaitu banyak pemilik modal Industri di kota kota besar menarik tenaga tenaga ahli di daerah dan desa untuk di pekerjakan di kota. Hal ini menjadi dampak buruk untuk daerah dan desa yang memilki tenaga ahli tersebut. Pasalnya jika tenaga tenaga ahli tersebut di pekerjakan di kota, lalu siapa yang akan membangun desa. Daerah dan desa semakin tertinggal dan tidak memilki tenaga ahli untuk membangun daerah dan desanya. Kemiskinan di desa mencapai 643,4% (18,48 juta). Pembangunan ekonomi justru meminggirkan warga desa dengan menarik tenaga kerja ahli untuk bekerja di kota kota besar. Satu satunya cara menanggulangi masalah ini adalah membangun industri di daerah dan desa untuk memanjukan otonomi desa dan membuat warga betah tinggal. Ini artinya tidak sebatas menyediakan lapangan usaha, industri, tapi harus mempercepat pemerataan pembangunan.
PANDU WIBOWO
JURUSAN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UIN SYARIF HIDAYAHTULLAH  JAKARTA.
KETUA HIMPUNAN DISKUSI MAHASISWA

Penegak Hukum Harus Intropeksi Diri



Penegak Hukum Harus Intropeksi Diri

Banyak sekali kritik yang ditujukan kepada penegak hukum di negara ini. Bahkan saya ingat sekali dengan kata kata Wakil Jaksa Agung Darmono. Beliau mengatakan, kondisi hukum di negara ini sangat memprihatinkan. Kita juga sering mendengar janji janji pemerintah untuk membenahi sektor hukum di negeri ini. Program program yang dilakukan pemerintah untuk membenahi hukum memang cukup baik. Pemerintah mencoba mencanangkan reformasi birokrasi sampai menghasilkan birokrasi yang baik. Namun hal ini saya rasa kurang optimal, pasalnya banyak sekali masalah masalah hukum yang kontroversial dan juga masih banyak sekali penyalahgunaan hukum.
Salah satu kasus hukum yang baru baru ini seperti kasus korupsi Hambalang, KPK vs Polri, kemudian kasus Century yang tidak kunjung selesai, merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang terkait dan kita sebagai warga Indonesia berharap penegak hukum tidak setengah setengah dalam menangani masalah tersebut.
Kurang tegasnya pemerintah dalam menangani masalah hukum membuat masyarakat geram. Harapan masayarakat adalah mendapat keadilan, salah satunya adalah keadilan hukum untuk yang bersalah. Kalau kita pernah melihat berita yang menyatakan bahwa hukuman yang di terima sang pencuri buah lebih lama daripada hukukaman yang di terima sang koruptor. Ini bisa kita simpulkan bahwa hukum kita masih bisa di beli dengan uang.
Pembenahan hukum untuk menjadikan hukum yang adil dan bersih memang tidak membutuhkan waktu cepat. Tapi jika ketegasan dan peraturan yang ketat bisa di lakasanakan oleh semua penegak hukum, hukum beserta penegak hukumnya bisa melaksanakan mana yang harusnya di hukum dan mana yang harunya tidak di hukum. Semua ini membuktikan bahwa sistem yang dilakukan pemerintah tidak optimal, baik itu di sektor hukum dan politik. Selain itu juga masalah profesionalisme aparat penegak hukum yang semakin sering terjadi. Sistem yang buruk tersebut pun berdampak pula bagi kinerja birokrat birokrat di Indonesia.
Jika penegak hukum saja bermasalah bagaimana orang yang bermasalah dengan hukum!. Mungkin kata kata itu tepat untuk menyikapi masalah kinerja penegak hukum di negeri ini . Kinerja penegak hukum di negeri ini memang buruk, tapi kita tidak boleh pesimis. Tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah perubahan yang positive. Menurut saya sendiri untuk membenahi kinerja penegak hukum harus ada keseriusan perubahan. Terutama perubahan dalam sistem peraturan, peraturan harus diperketat dan sanksi yang di berikan oleh penyalahgunaan hukum tidak boleh pandang bulu. Selain itu harus ada perubahan kualitas sumber daya manusia untuk penegak hukum di negeri ini.
Banyak sekali sumber daya manusia yang cukup bagus di negeri ini salah satunya sumber daya manusia di penegak hukum. Tapi apakah mereka mempunyai iman yang kuat untuk menghadapi cobaan dari tuhan. Semua pegawai kejaksaan harus intropeksi diri masing masing, apakah mereka pantas menjadi penegak hukum yang bersih dan adil atau tidak. Jangan sampai harga diri seorang penegak hukum bisa di bayar dengan uang. Saya menghimbau kepada seluruh penegak hukum di negara ini harus meningkatkan efesiensi dan efektifitas yang nantinya berujung pada peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat.